Selamat siang untuk seluruh keluarga di indonesia. Gw kangen ibu, kangen bapak, kangen adek-adek gw semua dirumah. Gw duduk manis terdiam di sudut kamar berukuran 5x5 meter ini. dengan bermodalkan koneksi internet dan sebuah laptop kesayangan gw, gw mulai mencari-cari informasi mengenai kehidupan orang banyak yang tentunya bakalan beda dengan kehidupan gw.
Semenjak gw ikut diklatsar Kopma kemarin, yang notabenenya gw uda ikut diklatsar ini sampe 3 kali,cuma beda konsep acara. Intinya pas seorang bapak public speaker nya ngomong, gw langsung tiba-tiba ngerasa kalo itu gw banget. Ga perlu tau lah isinya apaan yaa. :P
Dan suatu waktu, gw nemu bacaan yang isinya cukup membuat gw tersenyum karena seseorang yang begitu tangguh dengan kondisi sosial ekonomi tuh ga menutup kemungkinan untuk mengenyak Perguruan Tinggi ..
Berikut ini adalah sketsa cerita beliau :
Siti Horiah Siti
Horiah, mahasiswi dari Program Studi Teknik Nuklir 2012 mendapat
penghargaan sebagai pemenang pertama dalam Lomba Menulis Kisah
Inspiratif Kamakarya 2013 yang diadakan dalam rangkaian acara Seminar
Motivasi Nasional oleh divisi keilmuan Kamadiksi dalam rangka
meningkatkan motivasi penerima beasiswa Bidik Misi. Acara yang memiliki
tema “Menembus Batas, Memetik untaian
mimpi ” ini diselenggarakan pada hari Minggu, 7 April 2013 bertempat di
Gedung Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada dengan pembicara Dr.
Revrisond Baswir (pakar Ekonomi Kerakyatan), Dr. Widyo Winarso (Kepala
Subdirektorat Kemahasiswaan DIKTI) dan Bapak Eko Prasetyo. Talkshow
dengan narasumber tersebut sangat menginspirasi dan memotivasi para
peserta seminar yang jumlahnya kurang lebih 1100 orang, di mana para
peserta tersebut didominasi oleh mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi
UGM ditambah dari universitas lain di sekitar Yogyakarta.
Dalam Lomba Menulis Kisah Inspiratif Kamakarya 2013 ini, peserta wajib
menuliskan kisah nyata perjuangan mereka dalam merajut asa dan meraih
impiannya masing-masing. Kisah yang harus menginspirasi banyak orang
nantinya, kisah yang dapat memeberikan gambaran banyak orang betapa kita
tak boleh berputus asa dalam meraih impian. Siti Horiah sendiri mengaku
bahwa dirinya tidak menyangka dapat memenangkan lomba kepenulisan ini,
karena latar belakang jurusan sebagai anak teknik yang harus bersaing
dengan orang-orang hebat yang memang bergelut dalam bidang kepenulisan.
Namun tanpa disangka dirinya dapat berprestasi dan bisa produktif dalam
menghasilkan cipta dan karya yang terbaik. Inspirasi dan bakat itu
memang akan selalu ada dalam diri seseorang tanpa terkecuali selagi ada
motivasi yang kuat dalam diri untuk menciptakan karya terbaik untuk
bangsa ini.
Meja Telepon Ibu
Siti Horiah
Mahasiswa Program Studi Teknik Nuklir 2012
Disudut ruang tamu kami, yang luasnya tidak lebih dari 4m2 itu terletak
sebuah meja kecil berwarna hitam. Meja itu adalah sebuah meja telepon
rumah yang sudah beralih fungsi sebagai meja belajarku. Meja itu adalah
satu-satunya meja yang ada di rumah kami, meja yang sampai saat ini
masih dibiarkan ibuku tetap berdiri tegak dan masih tetap berada dirumah
kami dengan sebuah alasan yang tak aku ketahui.
Beginilah
kondisi rumah kami setelah peristiwa kebangkrutan usaha ayahku. Demi
menyambung nyawa keluarga kami, ibu rela menjual barang-barang berharga
yanga ada di rumah kami pada tetangga sekitar. Ibuku tidak tahu lagi
harus berbuat apa, dan tidak tahu lagi bagaimana caranya mendapatkan
uang untuk membeli beras. Beliau menjual satu persatu barang-barang
berharga kami, setiap kali datang waktu makan. Mulai dari beberapa
pakaian ibuku yang paling beliau suka, alat-alat dapur seperti gelas,
piring, panci, dispenser, bahkan sendok dan garpu pun ikut habis
terjual.
Ayahku tidak dapat berbuat banyak setelah peristiwa
kebangkrutan usahanya. Beliau hanya mampu menjadi kuli dipasar
tradisional di kota kami. Upah yang dia terima tidak mampu menutupi
kebutuhan keluarga besar kami.
***
Suatu siang, aku
melihat adikku Rafi menangis sambil menghampiri ibu yang sedang duduk
lemas menonton tv tanpa antena itu. Aku memperhatikan gerak-gerik ibu
yang kepanikan, beliau tidak ingin membiarkan Rafi adikku menangis
terlalu lama.
“ibu, ibu aku lapar!” jerit Rafi.
Ibu
yang tak bisa berkata apa-apa langsung pergi menuju dapur, mengambil
beberapa piring. Aku pun terus memperhatikan gerak-gerik ibu. Aku heran
apa yang akan ibu lakukan dengan kelima buah piring itu. Sempat aku
berpikir kalau ibu akan mengambilkan nasi untuk Rafi, namun aku teringat
kalau dari kemarin aku belum memasak nasi untuk keluarga kami. Dengan
masih tetap memperhatikannya dari balik pintu, aku melihat air mata
ibuku jatuh berlinang membasahi pipinya yang pucat, namun dengan cepat
beliau langsung menghapusnya takut-takut kalau air matanya akan terlihat
olehku. Aku pura-pura tidak sadar dengan apa yang ibu lakukan didapur,
aku menyibukan diriku dengan menggendong dan menimang Rafi agar dia
tidak menangis.
Kubiarkan ibu dengan kesibukannya, kulihat
beliau keluar rumah dengan kelima piringnya itu. Tak beberapa lama
kemudian beliau kembali dengan uang ribuan yang lusuh sebanyak lima
lembar. Aku terheran-heran atas apa yang ibu lakukan. Ibu langsung
menyuruhku pergi kewarung membeli setengah liter beras, dan satu butir
telur. Tanpa berpikir panjang aku pun langsung pergi menuruti perintah
ibu.
Aku kembali dengan apa yang ibu minta dan ibu langsung
menyuruhku memasaknya. Ibu menyuruhku membuat telur dadar dengan
mencampurkan telur itu dengan terigu, agar satu telur itu menjadi besar
dan cukup untuk dimakan oleh kami bersembilan. Aku menarik napas
dalam-dalam, air mataku pun tak kuat dibendung, menetes jatuh. Aku tak
kuat menahan ini semua, bagaimana tidak, setiap harinya kami hanya makan
satu kali sehari. Berbagi setengah liter nasi untuk sembilan orang,
satu butir telur saja harus dibagi sembilan, sering kamipun membagi 2
bungkus mie instans untuk sembilan orang. Terkadang ayah memilih pergi
dari rumah saat tiba waktu makan, beliau pergi sambil menitip pesan
padaku agar jatah makanannya diberikan pada adik-adikku saja.
Ibu sangat sayang pada kami, beliau tidak pernah membagi penderitaanya
pada kami semua. Selagi ayah menjadi kuli dipasar, ibu selalu
menggantikan peran ayah. Ibu tak pernah terlihat sedih dengan
penderitaanya. Ibu rela berkorban demi kami semua. Ibu rela menjual
tempat tidurnya dan memilih tidur dilantai dengan beralaskan kasur yang
tipis saja.
Hampir seluruh barang berharga dirumah kami terpaksa
beliau jual, demi menutupi pendapatan ayah yang besarnya tak kurang dari
sepuluh ribu rupiah. Hanya satu buah meja telepon yang ibu sisakan
diruang tamu kami. Aku heran kenapa ibu tidak pernah mau menjual meja
tersebut, beliau lebih memilih menjual beberapa pakaiannya ketimbang
menjual meja tersebut. Sampai pada saatnya aku tak sanggup melihat
pakaian terbaik ibu harus ikut terjual, akupun menawarkan meja telepon
itu untuk dijual pada ibu. Namun ibu menolak dengan kata-kata yang
membuatku menangis sendiri.
“Selapar apapun kita nanti, ibu tidak
akan menjual tempat yang kau gunakan untuk mengantungkan cita-citamu itu
nak, pakailah terus meja itu.” Ungkapnya sambil pergi kerumah tetangga
untuk menjual baju terbaiknya selama ini, demi sepiring nasi untuk
keenam adikku.
Aku lemas mendengarnya, jadi selama ini ibu
tidak mau menjualnya hanya karena aku sering memakai meja yang
panjangnya tidak lebih dari 30 cm itu untuk belajar. Aku tersadar selama
ini aku memang selalu menggunakan meja itu untuk belajar karena itu
adalah satu-satunya meja yang ada dirumah kami.
Itulah kondisi
yang selama ini aku alami, tak ada yang bisa aku lakukan banyak ketika
itu. Saat itu kondisinya aku sedang duduk dikelas tiga. Ditengah kondisi
seperti ini aku harus tetap berjuang untuk bisa lulus SMA. Setiap malam
aku bangun untuk belajar dan mengerjakan tugas, aku menggunakan meja
telepon itu sebagai alasku belajar. Terbayang betapa menderitanya
belajar di atas meja yang luasnya lebih kecil dari luas buku tulisku.
Namun tidak ada pilihan lain bagiku, aku tak mampu menunduk lama untuk
belajar bila memilih belajar diatas lantai yang dingin. Meja itu adalah
teman terbaik bagiku. Dia selalu menemaniku dimalam hari disaat semua
orang terlelap, aku harus bangun untuk belajar. Semua itu aku lakukan
karena aku tidak memiliki waktu disiang hari untuk belajar.
Benar kata ibuku meja itu adalah tempat aku menggantungkan semua
cita-citaku. Tempat aku memulai perubahan pada hidup keluargaku. Ibuku
berharap besar padaku, karena aku adalah anak pertama. Jadi setelah aku
lulus SMA nanti aku bisa langsung bekerja, dan ibu optimis terhadap
diriku kalau aku nanti akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena ibu
tahu aku termasuk murid yang berprestasi disekolah.
Tanpa
disadari aku memang menyayangi meja kecil hitam itu, meja itu selalu aku
bersihkan setiap harinya, walaupun meja itu kecil dan sempit tapi aku
masih bersyukur bisa tetap menulis diatas meja. Meja itu adalah
satu-satunya tempat aku berbagi rahasia, tempat aku mengukir sebuah
mimpi. Hanya meja itu yang menjadi saksi kalau aku memiliki sebuah mimpi
yang selama ini aku rahasiakan dari dunia.
Aku punya sebuah
mimpi yang benar-benar tidak bisa aku ungkapkan pada siapapun. Aku takut
kalau mimpiku yang satu ini kuberitahu pada orang tuaku itu akan
menjadi beban padanya, kalau aku beritahu pada teman-teman atau orang
banyak aku takut mimpiku yang ini akan ditertawakan mereka. Jadi selama
ini hanya meja kecil ini yang bersaksi kalau aku sering mengukir sebuah
nama Universitas yang aku impikan pada catatan sekolahku. Ya, mimpiku
yang tidak dapat aku beritahukan kepada siapa pun termasuk orang tuaku
sendiri adalah duduk di bangku KULIAH.
Sebenarnya setiap kali orang
tuaku membahas tentang pekerjaan yang nantinya aku lakoni setelah lulus
SMA, hati kecilku menangis merintih tak terdengar siapapun.
“ayah, mama, aku gak mau kerja aku mau kuliah kaya temen-temen, aku mau
masuk UGM aku mau ke Jogja, aku gak bisa KERJA!” jerit hati kecil ini.
***
Saat-saat seperti ini semua teman-temanku sibuk mencari tempat bimbel
yang terbaik dikota kami, sebagai salah satu persiapan sebelum
menghadapi SNMPTN. Bagi seorang Siti Horiah jangankan mengikuti program
bimbel, buku paduan SNMPTN saja tak punya. Aku tak pernah memiliki niat
untuk membeli buku SNMPTN yang harganya selangit itu. Untuk makan
adik-adiku saja setiap subhu aku dan ibu masih harus keliling pasar
untuk menjajakan kue cucur buatan ibuku. Bagaimana aku mau menabung,
uang jajan yang ibu berikan itu hanya sebesar tiga ribu rupiah saja,
itupun hanya cukup untuk ongkos naik angkutan umum. Kalau kue kami tidak
terjual satupun itu berarti aku harus berjalan kaki sejauh 3 km untuk
sekolah. Aku tak sanggup meminta uang sepeserpun unutuk membeli buku
SNMPTN pada ayahku yang menjadi kuli dipasar, apalagi berkata pada ayah
kalau aku ingin kuliah ke JOGJA. Sudahlah bagiku kuliah adalah
mimpi-mimpi basi seorang siswa SMA kelas 3 seperti aku ini.
Itulah sebabnya aku menyembunyikan mimpi besar hidupku ini dari orang
banyak. Bagiku mimpi ini hanya akan menjadi pisau kecil bagi keluarga
kami. Mimpi yang akan menusuk dan mengiris perasaan kedua orang tuaku.
Tak pernah sekalipun aku berniat untuk mengkhayal menduduki bangku
kuliah. Aku takut kalau kedua orang tuaku tahu tentang mimpi ini, mereka
pasti akan merasa kalau mereka bukan orang tua yang baik, orang tua
yang tidak bisa membahagiakan anak-anaknya. Biarlah mimpiku yang ini
hanya aku, meja kecil itu dan Tuhan yang tahu.
***
Sahabatku Ana selalu ada untukku, memberika support. Cita-citanya
menjadi dokter membuat aku tersenyum miris sendiri. Aku selalu berpikir
kenapa aku tidak seberani dirinya bermimpi dan bercita-cita. Namun aku
sadar aku tidak seperti dirinya, aku bukan anak siapa-siapa yang boleh
bermimpi setinggi itu. Kalau kata adikku yang pertama “MIMPI ITU MAHAL
KAK!” buat bermimpi saja itu sulit apa lagi merealisasikannya pada
kenyataan. Sesulit itukah bermimpi pikirku kalau mimpi saja dianalogikan
dan disamakan dengan kata mahal. Kata-kata yang membuat keluarga miskin
seperti kami gempar mendengarnya. Kata mahal itu bagi kami berarti
mustahil dijangkau. Maklumlah, bagi keluarga miskin seperti kami harga
sebutir telur naik seratus rupiah pun sudah membuat kepala ayahku sakit.
Saat aku berkunjung kerumah Ana, orang tuanya memberikanku uang sebesar
seratus ribu rupiah. Tanganku gemetar menerimanya. Orang tua Ana
memberikan uang itu untuk aku gunakan sebagai ongkos pulang kerumah,
yang pada kenyataannya ongkos yang aku gunakan hanya empat ribu rupiah.
Setelah kuputuskan sisa uang tersebut kuberanikan saja untuk kubelikan
sebuah buku SNMPTN bekas dipasar. Agar harganya tidak mahal dan aku
dapat memberikan sisa uangnya pada ibuku. Aku sangat senang sekali saat
itu, aku berpikir walaupun aku tak ada niat untuk kuliah namun apa
salahnya kalau aku juga ikut menimba ilmu seperti teman-temanku.
***
“Kamu mau kuliah?” sahut ayahku didepan ibu dan adik-adiku.
Aku kaget bukan main terhadap pertanyaan itu, dari mana ayah tahu mimpi
yang aku sembunyikan dari dunia itu, mimpi yang tidak pernah terucap
oleh lidahku sendiri walau dalam doa di sholatku, mimpi yang hanya ikut
mengalir bersama air mata sebelum tidurku, mimpi yang bahkan akupun
sendiri malu bercerita pada Tuhan. Ternyata ayah menyadari hal itu semua
karena buku SNMPTN yang baru aku beli kemarin ku letakan diatas meja
kecil hitam itu. Ibuku yang hanya lulusan SD menggeleng-gelengkan kepala
mendengar ucapan ayah. Ibu marah mendengar hal itu, ibu menyuruhku
mengubur mimpi tersebut, ibu takut kalau nantinya aku stress karena
mimpiku yang ini tidak akan pernah terwujud. Aku tertunduk menangis,
adik-adiku iba melihat kearahku. Ayah menenangkanku tersenyum padaku,
ayah berkata padaku agar aku belajar yang baik dan mencari tempat kuliah
yang aku inginkan. Ayah berkata kalau beliau akan berusaha mati-matian
agar aku bisa kuliah. Aku tersenyum melihat ayah yang bijak berkata
seperti itu, entahlah aku sempat berpikir kalau ayah hanya ingin
menenangkan diriku saja.
***
Suatu sore saat aku sedang menyapu halaman rumah, seorang ibu yang sebaya dengan ibuku menegurku.
“kamu mau kuliah yah neng?”. Tegurnya sambil tertawa kecil.
Aku kaget dibuatnya, Ibu itu berkata kalau kemarin ibuku bercerita pada
dirinya bahwa aku merengek meminta meneruskan sekolah. Ibu itu
menasihati diriku, dia berkata padaku kalau kita sebagai orang susah
jangan ‘kebanyakan tingkah’, aku sebagi anak pertama jangan menyusahkan
kedua orangtua dengan merengek-rengek minta kuliah. Kuliah itu mahal
katanya, upah ayahmu itu tidak cukup untuk makan dua kali sehari,
apalagi untuk biaya kuliah. Kasihan adikmu ada banyak mau makan apa
mereka.
Hatiku bergetar, ingin rasanya aku membentaknya. Namun
aku hanya mampu membalas perkataannya dengan senyum termanis yang aku
miliki.
Keesokan harinya ibuku bercerita, kalau teman-teman
ayahku dipasar itu mengolok-olok ayahku karena ayahku bercerita pada
mereka kalau aku ingin kuliah. Mereka berkata pada ayahku kalau tidak
akan ada universitas yang mau menerima orang miskin seperti aku ini.
Aku berlari menuju meja kecil hitam di ruang tamuku, ku buka buku
catatanku yang pernah kutulisi tulisan grafiti nama sebuah universitas
impianku. Kurobek dan kulempar bukunya, aku marah saat itu. Karena orang
yang paling aku sayang itu dihina oleh orang lain, dicaci maki. Aku
tersadar kalau itu semua karena mimpi ‘konyolku’ berkuliah. Itulah
sebabnya selama ini aku malu dan memutuskan untuk menguburkan niat dan
impianku berkuliah sedalam-dalamnya. Sudah kukira akan berakhir dengan
penghinaan kedua orangtuaku seperti ini. Aku kesal, orang tuaku dihina
seperti itu. Aku malu karena itu semua adalah ulah dari mimpi tidur
indahku.
***
Keesokan harinya disekolah teman-temanku bersorak dan memanggilku.
“Selamat yah sit, lu masuk daftar undangan SNMPTN tuh!” ucap Lidia
Jantungku bergetar, aku tak percaya kalau namaku bisa masuk dalam
jajaran murid-murid pintar yang bisa mengikuti SNMPTN undangan. Aku pun
girang bukan main, ku hampiri guru bimbingan konselingku. Aku
menceritakan masalah keluargaku selama ini, awalnya aku tak mau
bercerita namun karena mimpiku berkuliah saat ini sudah ada di depan
pelupuk mata. Maka akupun memutuskan untuk menceritakan semuanya agar
aku mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
Guruku itu langsung
memeluk tubuhku yang kaku, dia memiliki impian besar terhadap diriku.
Dia mencarikan solusi untuk masalahku ini dengan menawarkan beasiswa
BIDIKMISI. Tanpa berpikir panjang aku menyetuji ajakannya. Aku pulang
kerumah dan menyiapkan berkas-berkas yang ada, saat itu aku merasa
bersyukur sekali karena impianku yang kurasa buruk itu akan segera
terwujud. Aku sengaja tidak memberitahu informasi ini pada kedua
orangtuaku, aku ingin membuat semua ini menjadi kejutan bagi mereka.
Segala macam persyaratan pendaftaran SNMPTN itu pun telah dipenuhi, aku
memutuskan untuk memilih UNIVERSITAS GADJAH MADA dan prodi TEKNIK
NUKLIR pada pilihan pertama. Entahlah dengan hanya bermodal menyukai
kimia dan fisika. Maka aku putuskan untuk memilih program studi ini.
Besar harapanku untuk diterima. Setelah semuanya selesai , baru ku
beritahu ayah dan mama. Mereka sangat senang karena beasiswa Bidik Misi
ini mereka berdua tidak perlu mengeluarkan uang sampai aku lulus nanti.
Kedua orang tuaku pun senang dengan pilihan program studi yang aku pilih
itu. Semuanya tinggal ku pasrahkan pada Tuhan. Kalau memang rezeki aku
pasti akan mendaptkannya pesan ayah padaku yang selalu ku ingat.Aku
senang dan aku ingin membuktikan pada semua orang yang telah menghina
mimpiku.Aku ingin membuktikan kalau impianku ini akan segera terwujud.
***
Dua bulan lamanya aku menunggu pengumuman, selama itu aku mempersiapkan
diriku untuk bisa mengikuti SNMPTN tulis, aku belajar sedikit demi
sedikit dari buku soal-soal SNMPTN yang aku miliki. Semangatku berkuliah
setiap harinya semakin kencang. Ditengah-tengah semangatku ini, masih
saja ada tetangga yang mengolok-olok mimpiku. Ada tetangga yang berkata
pada ibuku seperti ini.
“Hati-hati bu, itu anaknya bukan mau kuliah tapi mau jual diri.” Ucapnya sinis
Ingin rasanya aku menampar orang yang berbicara seperti itu pada ibuku,
tapi ibuku menyadarkanku kalau ucapan mereka adalah batu loncatan bagi
prestasiku. Aku harus tetap rajin belajar dan membuktikan pada dunia
kalau mimpiku itu akan mengubah dunia menjadi lebih baik.
***
Semua hinaan, cacian maki tetangga-tetangga sampai saudara-saudara
terdekat kami kemarin terhadap mimpi besarku, kini lenyap sudah. Air
mata kedua orang tuaku kini warnanya berubah sebening permata,
keringatnya yang bercucuran itu menjadi keringat kebanggaan mereka
terhadapku, simpulan senyum guru-guruku mengguratkan harapan besar
padaku. Ya, aku diterima di Universitas kerakyatan yang menjadi
kebanggaan negara ini. Universitas bergengsi dan nomor satu terbaik di
Negri ini. Gadjah Mada namanya, di sana namaku tertera di Teknik Nuklir.
Program studi sarjana Nuklir satu-satunya di ASEAN dan memiliki lulusan
terbaik se-Asia.
Aku tak bisa berkata apa-apa, melihat
kebahagiaan kedua orang tuaku. Melihat mimpiku yang kini menjadi nyata,
mimpi yang tak pernah berani aku ungkapkan pada dunia. Mimpi yang tak
seharusnya aku tutupi dari orang lain. Sekarang aku sadar kalau semua
itu memang berasal dari mimpi. Mimpi yang bukan hanya sekedar mimpi,
mimpi yang harus segera diwujudkan, bukan dibiarkan tetap tidur bersama
angan-angan semata. Aku pun tersadar sekarang kalau tak ada satupun hal
yang mustahil dalam hidup ini, aku masih memiliki Allah. Tuhanku yang
tak pernah tidur, yang selalu mau mendengarkan mimpi kecil kita. Aku tak
akan menyia-nyiakan amanat besarmu ini Tuhan. Aku tersenyum mengingat
semua pengorbanan aku dan kedua orangtuaku demi mimpi manis ini kemarin.
Terimakasih meja kecilku yang setia menemaniku merogoh mimpi ini.
Terimakasih Tuhan mengijinkanku merajut asa ini untuk meraih impian.
Kesimpulan dari naskah yang gw baca : Mimpi itu emang mahal bro, semahal dengan usaha apa yang bakalan lo capai untuk mencapai mimpi itu, percayalah bahwa waktu akan terus berlanjut,lo ga bakalan bisa nunda waktu itu,karena lo yang bakalan nyesel, so jalanilah mimpi itu hingga lo meraihnya..
Regards..!